SEORANG pria tua
bersandar lemah di atas tempat tidur, di dalam sebuah kamar yang
temaram. Matanya yang menua memandang ke depan dari celah kelopak yang
sempit. Saat pria berpiyama biru muda itu bernapas dengan lemah, perut
dan dadanya yang berselimut kain warna putih tampak naik-turun dengan
perlahan.
Di punggung telapak tangan kanannya tertancap jarum dan selang, yang mengalirkan cairan dari botol infus di sisi kanan ranjangnya. Hanya dua atau tiga orang saja yang diizinkan masuk untuk merawat laki-laki tua itu dalam sekali waktu.
Di punggung telapak tangan kanannya tertancap jarum dan selang, yang mengalirkan cairan dari botol infus di sisi kanan ranjangnya. Hanya dua atau tiga orang saja yang diizinkan masuk untuk merawat laki-laki tua itu dalam sekali waktu.
Cobalah pegang tangannya, belai rambutnya yang memutih dan sapalah dia dengan bahasa orang Arab yang sangat dibencinya, “Kaifa haluk yaa Sharon?” Apa kabarmu Sharon?
Dia pasti tidak akan menjawab. Sebab, itu hanyalah sebuah patung lilin dalam ukuran sebenarnya sebagai representasi dari Ariel Sharon, mantan Perdana Menteri Israel ke-11.
Seni instalasi karya Noam Braslavsky tersebut pertama kali ditampilkan di Galeri Seni Kishon di Tel Aviv.
“Sebagai seorang seniman, adalah hak saya untuk memilih tokoh ini dan membawanya kembali menjadi kepala berita utama (di media massa),” kata Braslavsky, perupa Israel yang bermukim di Jerman.
“Sebagai seorang seniman, adalah hak saya untuk memilih tokoh ini dan membawanya kembali menjadi kepala berita utama (di media massa),” kata Braslavsky, perupa Israel yang bermukim di Jerman.
Memang tidak banyak yang
diketahui tentang Ariel Sharon, setelah diserang stroke pada 4 Januari
2006 yang menyebabkan koma hingga saat ini.
Pada malam hari Sharon terkena
stroke, seorang kru televisi Israel berhasil menangkap gambarnya yang
sedang berada di belakang sebuah mobil ambulan, terbaring setengah duduk
dalam keadaan sadar. Itulah gambar terakhir dari Sharon yang dimiliki
media. Sebab setelah itu, keluarga Sharon sengaja menutup pintu
rapat-rapat, atas informasi kondisi salah satu tokoh kontroversial dalam
sejarah Zionis Israel itu.
Sementara Sharon palsu didatangi
banyak pengunjung di Kishon Gallery, Sharon asli terbujur kaku tidak
sadarkan diri beberapa kilometer jauhnya, di Chaim Sheba Medical Center,
Tel Hashomer.
Hidup atau Mati
Dua hari setelah Sharon, yang
akrab dipanggil Arik, terkena stroke berat sehingga otaknya dibanjiri
darah, berbagai media internasional mengabarkan bahwa ia sudah mati,
"ya" Mati.
Hal
itu wajar saja, karena setelah dinyatakan stabil pada 5 Januari 2006
oleh tim dokter di Rumah Sakit Haddasah, keesokan harinya Sharon
dimasukkan lagi ke ruang operasi. Bahkan wakilnya, Ehud Olmert, telah
ditunjuk sebagai pejabat sementara perdana menteri menggantikan tugas
yang diemban Sharon.
Pada hari keenam, dokter
berupaya membangunkannya dari keadaan tidak sadar, dengan cara
mengurangi dosis obat anastesi. Ia pun kemudian bisa bernapas sendiri
dengan bantuan respirator dan sedikit memberikan respon terhadap
stimulus rasa sakit di lengan dan kakinya.
Tetapi, Sharon yang sudah
berpindah rumah sakit tidak juga bangun, meskipun keluarga sudah
memperdengarkan alunan musik klasik karya komposer Mozart kesukaannya
–seperti yang disarankan oleh dokter. Ia tidak pernah membuka matanya,
meskipun hasil tes CT scan menunjukkan otaknya tidak lagi mengeluarkan
darah.
Hari berganti pekan, pekan
berganti bulan. Sharon tidak lagi dikabarkan menderita pendarahan pada
otaknya. Hanya saja, berbagai infeksi menyerang organ-organ tubuhnya
yang lain secara bergantian.
Dari otak, infeksi pindah ke paru-paru, ke ginjal, ke dalam darah, begitu seterusnya. Jantungnya yang diketahui bocor sejak sebelum koma, ikut memperburuk keadaan.
Dari otak, infeksi pindah ke paru-paru, ke ginjal, ke dalam darah, begitu seterusnya. Jantungnya yang diketahui bocor sejak sebelum koma, ikut memperburuk keadaan.
Bulan September 2008, dalam
wawancara yang termasuk langka, profesor Zeev Rothstein yang merawat
Sharon menceritakan keadaan pasiennya kepada Radio Angkatan Bersenjata
Israel.
“Dia bisa menggerakkan matanya,
atau satu jari atau beberapa jari… Dia dapat beraksi terhadap rasa
sakit, terhadap suara anggota keluarga yang didengarnya. Reaksi-reaksi
ini menunjukkan ia tidak sepenuhnya tidak sadar,“ jelas Rothstein.
“Seorang pasien yang terbaring
di ranjang rumah sakit begitu lama, tidak akan pernah terlihat sama
seperti saat ia sadar dan bisa berlari. Jadi, ia terlihat sangat
berbeda,” kata Rochstein lagi.
Sejak itu, tim dokter yang
merawatnya hanya menyampaikan dua kabar tentang Sharon. Yaitu,
kondisinya memburuk karena ada gangguan pada organnya atau stabil, tapi
tetap dalam keadaan koma.
“Buldozer” yang Congkak Lagi Kejam
SEPANJANG sejarah
upaya Zionis Yahudi mewujudkan 'Eretz Yisrael' di atas tanah Palestina,
Ariel Sharon termasuk salah satu tokoh yang “tidak ada matinya.” Ia
kerap muncul di setiap sejarah penting Israel.
Sharon dilahirkan di Kfar
Maalal, sebuah daerah pertanian di Palestina bagian barat, pada tahun
1928. Wilayah itu dulu di bawah kekuasaan Inggris. Keluarga orangtuanya
adalah imigran dari Rusia, pendukung kuat Zionis Israel. Dalam
otobiografinya disebutkan, nama kecil Sharon adalah ‘Buldozer’.
Pada masa kanak-kanak ia telah
bergabung dengan gerakan pemuda Zionis. Saat remaja belasan tahun ia
menjadi anggota paramiliter Zionis. Sharon bergabung dalam dinas militer
Israel sebelum genap usia 20 tahun dan ditunjuk menjadi komandan
pleton. Ia ikut perang pertama antara pasukan Zionis dengan Arab tahun
1948.
Saat berkarir di militer maupun politik, Sharon dikenal sebagai seorang 'hawkish'. Seseorang yang tidak sungkan menggunakan kekerasan dan kekuatan bersenjata untuk menghajar semua lawannya.
Namun
di kemiliteran, ia paling dikenal dengan aksinya dalam Perang
Arab-Israel tahun 1967 dan peperangan Yom Kippur Oktober 1973. Ia salah
satu komandan pasukan Zionis yang berhasil meraih kemenangan dari
pasukan Arab dalam waktu singkat. Keberhasilannya itu menjadi salah satu
legasi Sharon, yang hingga kini terus diajarkan dan ditularkan kepada
para kadet angkatan bersenjata Israel.
Di dunia politik, ia mendirikan
Partai Likud pada tahun 1973, yang hingga kini dikenal sebagai partai
paling kejam dan keras terhadap rakyat Palestina. Lawan-lawan politiknya
di Israel pun mengakui ke-hawkish-annya.
Setelah
keluar dari Likud, ia membentuk Partai Kadima pada akhir 2005. Partai
ini juga mendapat warisan sifat keras dari Sharon. Salah satunya bisa
dilihat dari sepak terjang Tzipi Livni.
Meskipun perempuan, pemimpin
Kadima itu adalah otak dan pengambil keputusan penting saat pasukan
Zionis Israel menyerang Jalur Gaza akhir 2008 hingga pertengahan Januari
2009, yang dikenal dengan Operation Cast Lead.
Tidak kurang dari 1.500 orang
–kebanyakan anak kecil, wanita dan orangtua– menjadi korban tewas dalam
serangan 22 hari tersebut. Serangan pasukan udara, darat dan laut Israel
itu baru dihentikan hanya satu hari sebelum Amerika Serikat melantik
Presiden Barack Obama.
Dalam urusan pemukiman Yahudi,
Sharon yang pernah menjabat sebagai Menteri Perumahan dan Pembangunan
Israel tahun 1990-1992 dan Menteri Infrastruktur Nasional Israel tahun
1996-1999, tidak mengenal kata ilegal dalam kamusnya.
Semua pemukiman Yahudi yang dibangun, termasuk dengan cara merampas tanah milik warga Palestina, adalah sah.
"Setiap orang harus bergerak, lari dan ambillah sebanyak mungkin puncak bukit sebisanya, untuk memperluas pemukiman (Yahudi). Sebab, semua yang kita bisa ambil akan tetap menjadi milik kita... Apa saja yang tidak bisa kita ambil, akan jatuh ke tangan mereka," Kutipan perkata Sharon, saat berbicara di hadapan militan dari kelompok ekstrim sayap kanan Partai Tsomet, ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, 15 Nopember 1998.
Congkak dan Kejam Kecongkakan
Sharon dan kebenciannya terhadap orang Arab dan Palestina sudah
mendarah-daging dalam dirinya sejak dulu.
Dalam wawancaranya dengan Jenderal Ouze Merham pada 1956, Sharon berkata ;
"Saya tidak tahu ada yang namanya prinsip-prinsip internasional. Saya bersumpah, akan saya bakar setiap anak yang dilahirkan di daerah ini. Perempuan dan anak-anak Palestina lebih berbahaya dibandingkan para pria dewasa, sebab keberadaan anak-anak Palestina menunjukkan bahwa generasi itu akan berlanjut. ... Saya bersumpah, jika saya sebagai seorang Israel bertemu dengan seorang Palestina, maka saya akan bakar dia. Dan saya akan membuatnya menderita sebelum membunuhnya. Dengan satu pukulan saya pernah membunuh 750 orang Palestina (di Rafah tahun 1956). Saya ingin menyemangati prajurit saya agar memperkosa gadis-gadis Arab, karena perempuan Palestina adalah budak untuk Yahudi dan kami dapat berbuat apa saja yang kami inginkan kepadanya. Tidak ada yang boleh menyuruh kami apa yang harus kami lakukan, justru kami yang memerintah mereka apa yang harus mereka lakukan."
Bicara tentang kekejaman Sharon
dalam sejarah Zionis Israel, tidak akan lepas dari peristiwa pembantaian
warga Palestina di pengungsian Sabra-Shatilla dan invasi pasukan Israel
ke Beirut, Libanon, pada 1982 saat Sharon menjabat menteri pertahanan.
Dr. Ang Swee Chai, seorang
perempuan warga China Kristen, yang dibesarkan dengan nilai-nilai
anti-Islam dan Arab, serta mendukung penuh Yahudi dan Israel, bercerita
cukup lengkap tentang kekejaman Israel di Sabra-Shatilla dalam bukunya "From Beirut to Jerussalem".
Pembantaian Sabra-Shatilla terjadi pada September 1982, hanya beberapa hari setelah para pejuang Palestina menyerahkan senjata mereka dibawah perjanjian damai internasional. Mereka kemudian dideportasi dari Beirut, meninggalkan keluarganya ke perlindungan pasukan perdamaian internasional. Pasukan Israel kemudian menginvasi Beirut. Tidak kurang dari 3.000 wanita dan anak-anak yang tidak berdaya dikumpulkan di kamp pengungsian Sabra-Shatilla. Kemudian secara sistematis mereka dibantai begitu saja.
Pembantaian Sabra-Shatilla terjadi pada September 1982, hanya beberapa hari setelah para pejuang Palestina menyerahkan senjata mereka dibawah perjanjian damai internasional. Mereka kemudian dideportasi dari Beirut, meninggalkan keluarganya ke perlindungan pasukan perdamaian internasional. Pasukan Israel kemudian menginvasi Beirut. Tidak kurang dari 3.000 wanita dan anak-anak yang tidak berdaya dikumpulkan di kamp pengungsian Sabra-Shatilla. Kemudian secara sistematis mereka dibantai begitu saja.
Pendudukan Beirut oleh
pasukan Zionis berlangsung selama 70 hari. Lebih dari 30.000 orang
kehilangan nyawanya. Pasukan Zionis menyerang secara membabi-buta.
Makanan, air dan listrik seketika lenyap. Lebih dari 500.000 orang
dipaksa meninggalkan rumahnya.
Korban Pembantaian Sabra-Shatilla terjadi pada 16–18 September 1982. |
Berdasarkan perhitungan tentara
Israel IDF, mereka menggunakan tidak kurang dari 960 ton amunisi untuk
menghancurkan kota Beirut. Dalam serangan ke Libanon tersebut, untuk
pertama kalinya Israel menguji cobakan senjata baru, yaitu bom fosfor
dan bom vakum.
Jika seseorang terkena bom
fosfor maka tubuhnya akan terbakar selama beberapa hari. Apabila
tubuhnya disiram air, maka pembakarannya akan bertambah parah dan
berlangsung lebih lama.
Korban Bom Fosfor oleh Zionist-Israel di Gaza 2008-2009 |
Bom vakum tidak kalah
mengerikan. Bom itu terbuat dari TNT yang berkekuatan besar. Jika
dijatuhkan ke sebuah gedung, maka bangunan itu akan tersedot ke bawah,
rontok menjadi puing. Ang Swee Chai melihat sebuah bangunan 11 lantai
mengubur hidup-hidup sekitar 200 orang di Beirut.
Saat menjelaskan latar belakang
dari penciptaan karya instalasinya yang berjudul “Ariel Sharon” Noam
Braslavsky mengatakan kepada BBC, “Pria ini bukan seorang laki-laki
biasa. Dia punya pengaruh yang sangat besar atas kehidupan dari semua
orang yang tinggal di negeri ini (Palestina-Israel).” Mungkin dia benar.
Sumber Kutipan: Hidayatullah
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete