“Abu Krueng Kalee nyaris membuat Aceh menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri. Namun semuanya buyar setelah usulan itu tak diterima Daud Beureueh yang pada akhirnya ia sendiri tertipu janji palsu Soekarno...”
Oleh Aulia Fitri (*
Sapaan akrab Abu Krueng Kalee jika bertandang ke Gampong Siem, Aceh
Besar, mungkin tak asing lagi bagi masyarakat di sana. Tgk H Muhammad
Hasan Krueng Kalee itulah nama aslinya yang kini telah bersemat megah di
sebuah pondok pesantren: Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee. Pesantren
itu juga dikenal dengan sebutan “Dayah Manyang”.
Abu Krueng Kalee merupakan salah satu ulama kharismatik Aceh. Ia lahir
pada 13 Rajab 1304 H/18 April 1886 M di Gampong Langgoe Meunasah
Keutumbu, Mukim Sangeue, Kabupaten Pidie. Abu, begitu ia disapa, selain
piawai dalam mengajarkan ilmu agama dan pendidikan, juga menjadi sosok
ulama yang begitu peduli dengan keadaan politik dan sosial Aceh pada
masa-masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Melihat sepak terjang Abu dan sejarah hidupnya memang sangat
mengagumkan, khususnya bagi generasi Aceh yang ingin tahu banyak tentang
kisah hidup ulama-ulama Aceh yang berjaya pada masanya.
Abu Krueng Kalee menjadi ulama bukan karena diagungkan oleh masyarakat
Aceh pada waktu itu, melainkan pengorbanannya pada Aceh yang begitu
besar, sehingga ia diberi gelar “Ma’rifaullah” atau “al A’rif billah”.
Gelar itu ia terima pada sebuah forum tingkat tinggi ulama se-Aceh, 5
Mei 2007, di Masjid Raya Baiturrahman.
Pada pertemuan itu para ulama Aceh telah sepakat, selain Abu Krueng
Kalee, ada tiga ulama lainnya yang telah sampai pada tingkat
Ma’rifatullah. Dua di antaranya ulama terkemuka masa silam, yakni Syeikh
Abdurrauf as Singkily dan Syeikh Hamzah al Fansuri dan Tgk H Muhammad
Waly Al-Khalidy atau lebih dikenal dengan Tgk H Muda Waly—pendiri salah
satu pesantren terkemuka di Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Pandangan Politik Abu
Berbicara masalah politik (siyasah) bukan barang langka bagi Abu,
terlebih setelah Indonesia merdeka. Abu piawai dalam mengambil berbagai
keputusan politik di Aceh, karena didasari pada penguasaannya terhadap
pelbagai ilmu sejarah, baik sejarah Islam (tarikh al Islamy) maupun
dunia.
Dari itu, Abu mampu mengkaji elemen-elemen sosial dan politik dalam
menghadapi berbagai persoalan dan peristiwa yang muncul saat itu.
Dalam biografi singkat “Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (1886-1973): Ulama Besar dan Guru Umat”
yang diterbitkan Yayasan Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee disebutkan,
pada hakikatnya seseorang yang ingin mendalami kandungan Alquran dengan
baik dan benar, mutlak harus mengetahui Sirah Nabawiyah sebagai upaya
mengambil suatu hukum dan i’tibar serta memahami dengan benar ilmu fiqh
sirah.Hal itulah yang dipraktikkan Abu dalam menghadapi berbagai peristiwa politik yang terjadi di Aceh dan nusantara semasa hidupnya. Perannya sebagai seorang ulama salafi dan sufi terkemuka, tidak
membuatnya jauh dari berbagai persoalan-persoalan umat. Kiprahnya selalu
hadir mengiringi setiap peristiwa yang muncul di sekelilingnya.Salah satu hal yang masih membekas pada rakyat Aceh adalah lahirnya “Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh” pada 15 Oktober 1945. Maklumat itu dicetak dalam bentuk selebaran dan dibagikan ke seluruh Aceh dan wilayah Sumatera.
Maklumat itu dikeluarkan di Kutaradja (Banda Aceh). Diprakarsai oleh
empat tokoh ulama yang mewakili seluruh ulama Aceh, yakni Tgk H M Hasan
Krueng Kalee, Tgk M Daud Beureueh, Tgk H Dja’far Siddik Lamjabat dan Tgk
Ahmad Hasballah Indrapuri. Maklumat itu merupakan wujud dukungan ulama
Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan
Presiden Soekarno.
Inti muatannya, maklumat berisi keyakinan para ulama yang bernilai
fatwa: perjuangan mempertahakan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan
perjuangan suci yang disebut perang sabil (jihad fi sabilillah)
meneruskan perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Tgk Chik di Tiro
dan pahlawan kebangsaan lainnya.
Legitimasi maklumat mewakili rakyat Aceh ini juga mendapat dukungan
penuh dengan dicantumkannya atau diketahui oleh Teuku Nyak Arif selaku
Residen Aceh dan disetujui oleh Tuwanku Mahmud (keturunan Sultan Aceh)
selaku Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh (KNIDA).
Tak lama setelah keluarnya Maklumat Bersama itu, Abu mengeluarkan
seruan/maklumat tersendiri. Seruan yang sangat penting atas nama
pribadinya pada 25 Oktober 1945. Isinya tak jauh beda dengan maklumat
bersama.
Seruan yang ditulis dalam bahasa Arab Jawi itu dicetak oleh Markas
Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia). Disertai surat pengantar yang
ditandatangani Ketua Umum PRI, Ali Hasjmy, 8 November 1945 dengan Nomor
116/1945. Maklumat itu kemudian dikirim ke seluruh pimpinan dan ulama
Aceh.
Adanya maklumat itu berdampak positif bagi pemerintahan RI. Berbagai
dukungan fisik dan materil rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan Negara
Kesatuan Republik Indonesia tak terbendung, sehingga saat kunjungan
pertama Presiden Soekarno ke Aceh, Juni 1948, dengan lantang Soekarno
menyatakan bahwa Aceh dan segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi
kemerdekaan RI.
Aceh Nyaris Berdiri Sendiri
Di Blang Padang, Banda Aceh, ada sebuah bangunan tua bekas pusat
pemerintahan Belanda. Kini telah berubah wujud. Dijadikan SMA Negeri 1
Banda Aceh.Di ‘gedung setan’, sebutan rakyat Aceh waktu itu terhadap kantor Belanda
(SMAN 1 Banda Aceh kini), menjadi saksi bisu fakta sejarah tanggal 20
Maret 1949. Di gedung itulah pertemuan penting para tokoh-tokoh di Aceh
berlangsung, salah satunya Abu Krueng Kalee.Pertemuan itu membahas isi sebuah surat tertanggal 17 Maret 1949 yang
dikirim Wali Negara Sumatera Timur, DR Teungku Mansur ke Aceh. Saat itu
Aceh merupakan provinsi yang dipimpin seorang Gubernur Militer dan Sipil
yang membawahi wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dan surat itu
berisi undangan kepada Tgk M Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh
untuk menghadiri rapat yang diberi nama “Muktamar Sumatera” untuk
membahas pembentukan “Negara Republik Federasi Sumatera”.
Padahal, Muktamar Sumatera itu merupakan gagasan terselubung dari
politiknya Gubernur Hindia Belanda Van Mook untuk memecah-belah wilayah
Indonesia yang sudah memproklamirkan kemederkaannya bisa bubar. Van Mook
melakukan itu karena seluruh wilayah di Indonesia saat itu telah
berhasil diduduki Belanda pascaagresi militer ke II tahun 1948.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah kepemimpinan
Syahruddin Prawiranegara yang dibentuk atas perintah Soekarno, akhirnya
harus pindah-pindah, yakni ke Yogyakarta, Bukit Tinggi, dan Aceh, karena
kala itu ibukota RI di Jakarta telah diduduki Belanda serta sejumlah
tokoh nasional dan termasuk Soekarno telah berhasil ditawan Belanda.
Hanya Aceh, satu-satunya yang sepanjang perang revolusi fisik
(1945-1949) tidak berhasil diduduki Belanda, sehingga gagasan yang
ditawarkan oleh Van Mook untuk bergabung dalam Negara Republik Federasi
Sumatera (NRFS) akan membuat Indonesia pada akhirnya tak lagi berwujud.
Kepentingan Belanda untuk Aceh agar bergabung bersama NRFS sangat besar.
Aceh dianggap Belanda telah menjadi daerah modal RI dan tak lagi
memberi dukungan dan perjuangan untuk rakyat Indonesia ke wilayah lain.Suasana ‘gedung setan’ pun hari itu berlangsung panas. Terjadi
perdebatan sejak jam 10 pagi sampai jelang jam 11 malam. Hasilnya berupa
tiga pilihan: sebagian menerima ajakan Van Mook bergabung bersama NRFS;
sebagian ingin memproklamasikan Aceh sebagai negara sendiri; dan
sebagian tetap setia mempertahankan negara Republik Indonesia.
Dari tiga pilihan itu, hanya Abu yang mengusulkan Aceh untuk berdiri
sendiri. Berbagai pertimbangan Abu uraikan. Menurutnya, roda
pemerintahan Republik Indonesia sudah lumpuh. Secara defacto, wilayah RI
sudah kembali diduduki Belanda, kecuali Aceh.Selain itu, Aceh telah memiliki sejarah dan kemampuan secara militer
untuk berdiri sendiri lewat salah satu komando Tgk Daud Beureueh yang
menjabat Gubernur Militer dan Sipil untuk Aceh, Langkat, dan, Tanah
Karo, sehingga berbagai alat persenjataan berat peninggalan Jepang yang
berhasil dikuasai pejuang Aceh bisa menjadi salah satu modal kemampuan
Abu dan para ulama lain untuk menggalang kekuatan rakyat dalam mendukung
gagasan tersebut.
Namun saat berbagai gagasan dan uraian disampaikan Abu, Tgk Daud
Beureueh juga meminta pendapat peserta rapat atas tawaran Van Mook,
tetapi tidak ada satupun dari mereka memberikan tanggapan.
Menurut Tgk Ishak Ibrahim, salah satu anggota TNI yang pernah bertugas
di Makassar dan pada masa DI/TII menjabat sebagai komandan Batalion
DI/TII wilayah Darussalam, malam itu Tgk Daud Beureueh akhirnya
menanyakan tanggapan ke Abu tentang tawaran Van Mook.
Abu dengan tegas menjawab, “Kalau mau senang, lepaskan Aceh dari RI. Ambil yang baik meskipun itu keluar dari mulut rimueng (harimau).”
Tgk Daud Beureueh menentang keras jawaban Abu. Padahal sosok Abu di mata
Daud Beureueh adalah seorang guree (guru). Daud Beureueh pun kembali
mempertegas: kesetiaan rakyat Aceh terhadap RI bukan dibuat-buat,
melainkan kesetian yang tulus dan ikhlas dengan hati nurani yang penuh
perhitungan dan perkiraan.
Dalam pidatonya, Tgk Daud Beureueh mengatakan;
“…sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk suatu Aceh Raya, karena kita di sini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak kita balas.”
Penolakan Tgk Daud Beureueh juga didasari atas keyakinannya bahwa
Soekarno akan menepati janji-janji yang telah disampaikan dengan
linangan air mata kepadanya dalam kunjungan ke Aceh tahun 1948. Pada Tgk
Daud Beureueh, Soekarno berjanji akan memberikan izin bagi Aceh untuk
mengurus daerahnya sendiri dan menjalankan syariat Islam.
Akhirnya, usulan Abu tak mendapat dukungan penuh dari peserta rapat. Ia
kalah oleh pandangan mayoritas yang ingin tetap bergabung dengan RI.
Hasil akhir pun memutuskan untuk menolak ajakan DR Teungku Mansur dan
gejolak membentuk NRFS berakhir dengan sendirinya.
Akan tetapi semangat Abu Krueng Kalee belum surut. Ia didampingi
muridnya Tgk Idrid Lamnyong di kediamannya di Banda Aceh, kembali
mengajak Tgk Daud Beureueh mendirikan Pemerintahan Aceh. Ajakan itu
diungkapkannya sehari menjelang penyerahaan kekuasaan Belanda kepada
Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) di Den Haag, 27
Desember 1949.Namun jawaban Daud Beureueh juga tak berubah. Perdebatan sengit pun kembali terjadi, hingga akhirnya Abu mengatakan;
“Mulai jinoe, bek ka peugah sapeu le bak lon, kah hana ka teupeu… (mulai sekarang jangan katakan apapun lagi pada saya, kamu tidak tahu—apa yang saya ketahui—)… .”
Logika Agama dan Ilmu Hakikah
Menelaah secara logika, apa yang disampaikan Tgk Daud Beureueh lewat
pandangannya bersama tokoh-tokoh lain untuk mendukung Aceh tetap
bergabung dengan Republik Indonesia memang tidak dapat disalahkan.Pandangan tersebut terlihat dari motivasi dan prinsip mashalah yang
lebih besar, karena demi memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara
Indonesia yang pada saat itu mati suri. Apalagi janji-janji Soekarno
masih begitu terpatri dalam setiap ingatan rakyat Aceh, sehingga sulit
dipercaya jika janji itu akan dikhianati dikemudian hari. Bak seorang
negarawan sejati tentu akan mengambil kesimpulan yang sama dengan Daud
Beureueh.
Abu sendiri dalam menilai persoalan ini tetap merujuk pada logika agama.
Namun di sisi lain Abu juga melihat dengan ilmu hakikah atau disebut
ilmu firasat (laduni). Salah satu ilmu yang diberikan Allah SWT kepada
para walinya yang telah mencapai maqam ma’rifah, sehingga sulit bagi
awam untuk mengerti pada awalnya.Jelas sekali padangan Abu sangat bertolak belakang jika merujuk apa yang
terjadi pada Maklumat Ulama sebelumnya. Namun bagi orang yang paham
sikap dan pola pikir Abu dalam mengambil suatu keputusan, tentu akan
menjadi jelas dan mudah mengerti.Melihat kondisi awal kemerdekaan, menjadi alasan bahwa mengharamkan umat
Islam keluar dari ketaatan pemimpin jika sudah terpilih atau diakui
secara mayoritas, walaupun pemimpin itu fasiq atau jahat, selama ia
tidak mengharamkan umat untuk mengerjakan salat dan farzu lainnya. Maka
menurut pemahaman sunni, pemimpin itu harus tetap ditaati, walau boleh
dibenci.
Lain halnya saat Indonesia pascaagresi militer, di mana Pemerintah RI
sudah lumpuh dan tak bisa lagi berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun
demikian situasi di Bukit Tinggi tak lagi aman. Bahkan Daud Beureueh
meminta Presiden PDRI waktu itu Syafruddin Prawinegara hijrah ke Aceh,
sehingga pemerintahan RI masih dapat dipertahankan.Oleh karena itu, secara hukum agama, Aceh sudah memiliki momentum yang
tepat dan boleh untuk mengumumkan negaranya sendiri demi menghindari
kevakuman pemimpin dan pemerintahan, di mana kehilangan pemimpin menurut
ajaran agama dan keyakinan Abu sangat dilarang dalam agama, seperti
dalam salah satu riwayat ulama fiqih mengatakan: “Enam puluh tahun di bawah pemerintahan imam yang jahat lebih baik dari semalam tanpa pemimpin.”
Jadi, bisa dikatakan, tak ada kontradiksi antara kedua pandangan Abu
dalam hal ini. Sebab pandangan tersebut berada dalam situasi dan kondisi
negara yang sangat berbeda. Berbagai sikap politik Abu untuk mendukung
dan lepas dari RI juga berpijak atas dasar agama dan dalil-dalil seperti
ayat Alquran dan Hadis, Ijma serta kajian terhadap ilmu Fiqh Siyasah.
Kini Abu telah tiada, manusia yang hanya bisa berencana namun takdir Allah untuk menentukan apa yang berlaku. Wallahua’lam.
***
Penulis, salah satu pendiri dan penggiat di Komunitas Aceh Blogger.
Kutipan dari Sosok Abu Krueng Kalee di kancah Nusantara, Rubrik Fokus Harian Aceh.
Comments
Post a Comment