MK
SOSIOLOGI UMUM
|
Tanggal : 16
Oktober 2014
|
Nama : Muhammad Kurnia Nasution (E14140022)
|
Ruang :
CCR 2.15 (Q04.1)
|
Praktikum VI Masyarat dan Kebudayaan
MODEL KELEMBAGAAN
MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Oleh : Djuhendi Tadjudin
SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
Penelitian Hukumu Pemilikan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian
yang Penduduknya Sangat Padat
Oleh : Warner Roell
Nama Asisten:
Ulfi
Urfillah/I29120032
Tri Nungroho
Wicaksono/I39120064
Ikhtisar Bacaan I
Saat ini praktek pengelolaan sumberdaya hutan sarat
persengkataan. Intensitasnya pun cukup beragam: perbedaan, ketidaksetujuan,
protes, pertentangan, perusakan, sampai dengan pertikaian. Persengketaan yang
terkait dengan masalah hutan alam produksi dipandang dalam garis hirarki yang
linier: tata nilai, hak pemilikan, dan model pengelolaan (organisasi). Para
pelaku (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari: pemerintah,
masyarakat, dan swasta.
Hutan kemasyarakatan (HKM) merupakan tawaran
pemerintah untuk mengakomodasikan masyarakat secara luas. Konsep ini memerlukan
revitalisasi kelembagaan, khususnya kelembagaan pemerintah(birokrasi), antara lain
berupa desentralisasi dan devolusi. Menimbang keunggulan konsep HKM, pemerintah
mencoba mengadaptasinya. Namun keputusan tersebut mengandung banyak hal yang
memberatkan seperti, Makna masyarakat setempat, Hak masyarakat lokal adalah
“hadiah”, batas yurisdiksi, , koperasi, setralisme, identitas
masyarakat dengan persepsi pemerintah, going concern
principle dan masyarakat sebagai perusahaan.
Tujuan pengelolaan hutan produksi sebenarnya untuk
efisiensi, keadilan, keberlanjutan, dan pemeliharaan keanekaragaman hayati. Intervensi
manusia terhadap lingkungan itu dapat diterima apabila memenuhi empat
prinsip yaitu nilai lingkungan, nilai ekonomi, nilai teknikal, nilai
sosial. Terdapat tiga unsur pokok dalam kelembagaan sumberdaya hutan
yaitu, batasan yuridiksi, aturan main, aturan perwakilan. Bukti yang sangat
jelas dari norma hukum adalah keputusan mentri Kehutanan dan Perkebunan.
Kontrol sosial tanpa kekerasan, contoh pemerintah membebaskan masyarakat untuk
mengelola sumberdaya yang ada, membuat peraturan sendiri tentang tata cara
pengelolaan hutan dan sebagai pelaku penyalahgunaan pemelihara sumberdaya yang tetap
berpegang teguh pada UU, dan tidak merusak lingkungan sedangkan pemerintah
hanya memfasilitasi. Sedangkan kontrol sosial paksaan terdapat pada pemerintah,
UU dengan sanksi yang tegas.
Sumber : Modul Praktikum
Sosiologi Umum 2007/2008
Ikhtisar Bacaan II
Sistem bagi hasil mempunyai arti penting
dalam kehidupan pertanian Indonesia. Pada tahun 1990 jumlah penggarap bagi
hasil di antara petani lebih dari 50% dan hasil yang mereka terima kebanyakan
hanya 30% sampai 40%. Daerah yang padat penghuninya seperti pada pulau
Jawa, jumlahnya diperkirakan lebih dari 0%. Bentuk pertanian yang umum
adalah persawahan padat karya dengan hasil panen tinggi, namun tingkat teknik
produksi masih rendah. Kurangnya modal dan tawaran berlebih, sarana produksi
berupa tenaga kerja, menyebabkan timbulnya sistem bagi hasil dan hubungan kerja
dasar bagian yang sedikit bagi penggarap dalam mengelola lahannya. Hal yang biasa
terjadi adalah pembagian warisan “terselubung” tanpa memecah langsung lahan
pertanian dengan mengutamakan keturunan laki-laki, sehingga lahan pertanian
tersebut dikelola oleh sejumlah keluarga. Kesempatan kerja di sektor industri
sangat sedikit. Sedangkan kesempatan kerja pada industri rumah tangga kerajinan
dan industri kecil pedesaan yang bersifat informal juga telah terisi penuh.
Produksi bahan makanan terutama produksi beras melampaui kebutuhan penduduk,
namun daya beli rendah, sering menyebabkan timbul masalah pangan yang gawat.
Akibat kelemahan struktur pertanian dan tidak adanya cadangan tanah, maka
jumlah lapisan penduduk pertanian yang tidak memiliki tanah terus meningkat.
Sistem bagi garap yang menyebar luas merupakan pencerminan kekurangan tanah dan
tidak adanya peluang pekerjaan alternatif. Para penggarap terutama dari
kelompok sosial pedesaan bawah kebanyakan memiliki pondok sederhana dari bambu
dengan pekarangan kecil. Rata-rata pemilik hewan adalah pemimpin-pemimpin desa.
Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang
memiliki tanah jauh lebih luas dari tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur
desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan
tunai. Pembagian panen antar penggarap dan pemilik tanah sebesar 6:4 yang
dipropagandakan oleh PKI telah dilarang dan Undang-Undang penggarapan tahun
1960. Dengan bagi hasil pemilik tanah dan penggarap mendapatkan 1:1 hasil panen
kotor untuk padi, dan 1:2 untuk palawija di sawah, tidak menunjukkan
keberhasilan. Sebagai ukuran dasar pembanding bagi hasil adalah kualitas tanah,
letak tanah, bentuk pengolahan, hasil tanaman dan sebagainya. Bentuk-bentuk
dasar bagi hasil ada tiga yaitu, sistem maro, sistem mertelu, dan sistem
mrapat.
Demi perbaikan
kepentingan sosial yang dibutuhkan, maka harus dilakukan penghapusan situasi
buruk sistem bagi hasil di Jawa yang telah digambarkan. Pelaksanaan
Undang-Undang Agraria 1960 hanya merupakan langkah pertama yang penting untuk
mengantar ke proses perubahan sosial yang lebih baik. Usaha-usaha
selanjutnya dirancang serasi dalam bidang pertanian, bidang politik kependudukan,
usaha industrial dan infrastruktur, harus terus diupayakan.
Sumber : Modul Praktikum
Sosiologi Umum 2007/2008
Analisis Bacaan I
1. Jelaskan penggolongan
kelembagaan berdasarkan sektor-sektor sosial !
2. Tetapkan norma yang
mengatur perilaku dalam bacaan, dan tentukan tingkatan normanya!
3. Jelaskan apakah lembaga
sosial pada bacaan tersebut termasuk sebagai kontrol sosial?
Jawab :
1. Pada bacaan “Model Kelembagaan Masyarakat dalam
Pengelolaan Hutan Alam Produksi” masuk dalam sektor publik karena mencakup administrasi
dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai
organisasi mutakhir. Contohnya saja pemerintah lokal mengambil konsep HKM
melalui keputusan menteri kehutanan.
2. Tingkatan norma :
a. Cara (usage) : Pihak
swasta menggunakan cara yang tidak memperdulikan lingkungan demi mendapatkan
keuntungan.
b. Kebiasaan (folkways) : Kontrol
pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat.
c. Tata-kelakuan (mores): Hak
Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) kapan saja dapat dicabut oleh menteri
kehutanan, jika suatu saat hutan tersebut diperlukan untuk kepentingan umum.
d. Adat(Customs) : Masyarakat
Badui Luar di Kanakes, memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru –
tua.
3. Pada bacaan “Model
Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi” termasuk ke dalam
kontrol sosial karena bertujuan mencapai keserasian antara stabilitas dengan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah bersifat
represif(penjatuhan hukuman) dan dengan cara coersive (paksaan). Contohnya pemerintah
yang mengatur dan mengelola hutan alam produksi milik masyarakat lokal.
Analisis Bacaan II
1. Jelaskan penggolongan
kelembagaan berdasarkan sektor-sektor sosial
!
2. Tetapkan norma yang
mengatur perilaku dalam bacaan, dan tentukan tingkatan normanya!
3. Jelaskan apakah lembaga
sosial termasuk sebagai kontrol sosial?
Jawab :
1.
Pada “Sistem Bagi Hasil di Jawa tengah”masuk dalam
sektor partisipatori karena tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara
sukarela. Contohnya saja munculnya penggarap yang sudah melembaga. Contohnya pemerintah
yang telah mengeluarkan kebijakan atau peraturan tertentu.
2. Tingkatan norma :
a. Cara (usage) : Petani
mendapatkan 50% lebih, sedangkan penggarap mendapatkan 30% sampai 40%, dari
bagi hasil.
b. Kebiasaan (folkways) : Kebiasaan
masyarakat yang melakukan kontrak garapan secara lisan, dan membayar upah kerja
atau imbalan jika meminjam hewan pembajak kepada peternak.
c. Tata-kelakuan (mores) : Kelakuan
kaum bangsawan yang mau memiliki segalanya di daerah kekuasaannya, termasuk
tanah membuat penduduk tidak memiliki hak kepemilikan tanah.
d. Adat (Customs) : Sistem bagi hasil
merupakan tradisi masyarakat di Jawa Tengah dan hukum pemilikan
tanah feodal kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
3. Pada bacaan “Sistem Bagi Hasil di Jawa tengah” ke dalam kontrol sosial
karena bertujuan mencapai keserasian antara stabilitas dengan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah bersifat preventif
(pencegahan) dan dengan cara persuasive (tanpa kekerasan atau ajakan).
Contohnya yaitu dengan pelan-pelan membuat usaha-usaha yang dirancang serasi
dalam bidang pertanian untuk mengantar ke proses perubahan sosial yang lebih
baik.
Sumber : Lms.ipb.ac.id
Comments
Post a Comment