Plonco yang Keras Tapi Berkesan
Oleh : Robi Deslia Waldi
Plonco
mahasiswa baru sudah ada sejak sebelum IPB berdiri. Fahutan meneruskannya untuk
mengeratkan kekompakan dan kekeluargaan. DI usianya
yang ke-73, Suwarno Sutarahardja masih bisa mengingat dengan jelas Masa
Prabhakti Mahasiwa atau Mapram ketika ia masuk Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor pada 1965. Tanpa jeda dan fasih, ia menceritakan masa
penggojlokan menjadi mahasiswa itu kepada Forest Digest bulan
lalu.
Kejadian yang paling ia ingat
adalah ketika pada hari ketiga, dari dua pekan masa orientasi, setelah apel
siang para Rakawira (mahasiswa senior angkatan 1 dan 2 yang menjadi panitia)
membolehkan semua peserta Mapram pulang ke rumah.
Tentu saja
para Prama dan Prami itu girang alang kepalang. Gojlokan para senior amat
melelahkan. Izin pulang adalah kesempatan istirahat. Rakawira berpesan agar
saat apel malam semua mahasiswa baru itu membawa celana renang, serbet, dan
cacing tanah. Para mahasiswa tak ada yang bertanya untuk apa barang-barang itu.
Masa orientasi adalah masa yang pasal pertamanya, senior selalu benar.
Setelah enam jam istirahat mereka kembali ke kampus Fahutan di
Baranangsiang. Salat magrib lalu apel malam, panitia mengajak para junior ini
bernyanyi bersenang-senang. “Sekarang waktunya berenang,” kata seorang panitia.
Mereka menggiring para mahasiswa
ke gedung belakang, di aula Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian (kini
ruangan itu menjadi tempat parkir Botani Square). Begitu ruangan dibuka,
terhampar kanji cair di lantai seluruh ruangan. Di sanalah para Prama dan Prami
itu harus berenang.
Mahasasiwa Fakultas Kehutanan Sumber: Forestdigest.com |
Setelah pakaian tinggal celana
dalam, mereka mulai merayap di lantai. Dari pintu masuk hingga pintu keluar.
Tentu saja badan telanjang itu lengket dengan kanji. “Udara dingin pula,” kata
Suwarno, terbahak.
Selesai berenang, panitia bertanya
apakah para junior itu lapar. “Tentu saja kami lapar karena renang itu selesai
jam 9 malam,” katanya. Panitia meminta para mahasiswa menutup mata dengan
serbet. “Sekarang buka bungkusan plastik yang kalian bawa, itulah makan malam
kita,” kata seorang panitia.
Bungkusan plastik itu tentu saja
isinya cacing. Suwarno sudah membayangkan, malam itu ia akan muntah. Para Prami
sudah terdengar menggerutu bahkan ada yang sudah hampir muntah. “Sekarang
silakan makan,” teriak panitia.
Cacing di mangkok itu bau amis.
Suwarno memakannya dengan lahap karena takut disetrap senior. Mahasiswa lain
berteriak dan muntah. Setelah selesai, panitia meminta mereka membuka serbet.
Rupanya mereka sudah menukar cacing dengan spageti yang beri minyak ikan.
“Pantas bau amisnya menyengat,” kata Suwarno.
Selesai makan malam yang tak
menyenangkan itu mereka digiring ke lapangan. Di sana sudah ada api unggun.
Suwarno dan kawan-kawannya lega karena sedikit mengurangi rasa dingin. Namun,
lama-lama badan mereka jadi kurang nyaman. Bulu-bulu serasa dicabuti dengan paksa.
Rupanya, kanji di sekujur badan
mereka menjadi kering akibat panas. Proses pengeringan itu membuat bulu di
sekujur tubuh menjadi tertarik. “Saya lihat yang paling menderita itu para
Prami. Terbayang peureus, he-he-he,” katanya.
Esoknya, panitia berpesan agar
para junior membawa cermin rias. Mapram waktu itu berlangsung sejak pukul 5
hingga pukul 11 malam. Panitia menggiring mereka ke bioskop Suryakencana. Malam
itu acara ditutup dengan nonton bersama. Para mahasiswa yang kelelahan kembali
girang karena akan mendapat hiburan.
Suwarno tak ingat film yang
diputar. Yang dia ingat adalah perintah senior agar para junior itu menghadap
ke belakang begitu layar berkembang. “Kami harus menonton film melalui cermin
rias itu,” katanya. Sudah lelah seharian kegiatan, malam itu mereka harus
menonton film secara terbalik. Banyak Prama dan Prami tertidur karena
kelelahan.
Penderitaan tak cukup sampai di
situ. Panitia meminta para junior itu membuat resume jalan cerita film
digabungkan dengan laporan kegiatan selama hari itu. “Edan,” kata Suwarno.
Ketika ia menjadi panitia Mapram
untuk masa orientasi angkatan di bawahnya, Suwarno juga memakai cara serupa
menggojlok junior-juniornya. Berenang di air kanji, makan “cacing”, menonton
film dari cermin kemudian menjadi tradisi dari semua Ospek di tiap angkatan.
“Pak Warno itu senior paling galak,” kata Ahmad Hadjib dari angkatan 6 (1969).
Seperti kakak kelasnya itu, Hadjib juga mengajar di Fahutan sampai pensiun pada
2015.
Angkatan 1969 adalah angkatan
transisi tempat kuliah pindah dari Baranangsiang ke Dramaga. Hadjib masih ingat
ia telat masuk kampus saat Mapram karena salah naik oplet. Bersama Profesor
Dudung Darusman, ia kos di belakang Internusa. Hadjib salah naik angkot ke
Ciherang. “Alhasil saya lari sekencang-kencangnya sambil membawa cangkul dan
atribut lain yang nyeleneh,” katanya. “Karena
Ciherang-Dramaga jauh, ya, telat juga, akhirnya dihukum push-up.”
Meski menyebalkan selama mengikuti
Mapram itu, umumnya para mahasiswa terkesan setelahnya. Apalagi untuk mahasiswa
Fahutan, perpeloncoan itu berlanjut begitu mereka masuk fakultas. Plonco di
fakultas jauh lebih sadis tapi kreatif. “Ospek Fakultas sudah memasukkan materi
kuliah seperti pengenalan pohon di Gunung Walat,” kata Rudy Tarumingkeng, Dekan
Fahutan 1968-1969.
Di awal-awal Fahutan, kata
Suwarno, para junior dipanggil Kunyuk dan Kunyik, sementara senior dipanggil
Kakak Rimbawan. Cara senior “ngerjain” yunior juga tak
kalah jail tapi tidak kurang ajar. Mata ditutup lalu disuruh pipis berhadapan
adalah salah satunya.
Selepas acara, para senior meminta
maaf jika selama Ospek membuat tersinggung dan marah. Para junior diizinkan
“balas dendam” kepada Kaka Rimbawan yang paling galak dan menyebalkan.
Ada juga “siraman rohani” untuk
menguatkan ikatan kekeluargaan, untuk apa menempuh semua kelelahan dan
kesuntukan selama masa orientasi. “Mampram atau plonco itu kan pura-pura marah
saja karena tujuan utamanya mengeratkan kekeluargaan,” kata Kuswanda
Widjajakusumah, dekan pertama Fahutan.
Plonco di universitas sudah ada
sejak masa kolonial. Para calon dokter di Stovia Batavia juga mengenal masa
orientasi yang disebut “ontgroening”. Dalam bahasa
Belanda, groen artinya
hijau. Ontgroening berarti
menghilangkan yang hijau. “Maksudnya yaitu mahasiswa baru yang akan beranjak ke
jenjang lebih tinggi jadi tidak muda dan tidak kekanak-kanakan lagi,” kata
Kuswanda.
Asal-usul plonco bisa terbaca dari
buku Bunga
Rampai dari Sejarah, jilid III karangan Muhammad Roem. Ia masuk
Stovia tahun 1924. Setelah kemerdekaan, ontgroening berubah
menjadi plonco, bahasa Jawa untuk menyebut anak berkepala botak. Demikianlah
sejarahnya, asal-usul para junior berkepala botak ketika mengikuti masa
orientasi.
Di Fahutan, saat masa orientasi
juga ada kebiasaan memberikan nama angkatan di acara puncak saat kemping.
Kemping masa orientasi biasanya di Baturaden, Cilacap, Pantai Carita, atau
Leuwiliang. Setelah Hutan Pendidikan Gunung Walat terbentuk, penutupan Ospek
berlangsung di gunung yang berada di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, ini.
Tak ada pola pemberian nama
angkatan. Angkatan pertama (1963) diberi nama “Ompreng” karena sewaktu kemping
di Baturaden, mahasiswa memukul tempat makan dari seng itu hingga riuh. “Sejak
itu nama angkatan kami jadi Kompreng,” kata Jojo Ontario, yang kemudian
mengajar di Fahutan.
Angkatan 33 diberi nama “Blandong”
oleh Ketua Panitia Orientasi Mahasiswa Baru tahun 1996, Hendra Wijaya. Dia
angkatan 29 yang menjadi panitia OSMA. Blandong merujuk pada
penebang kayu yang dipekerjakan pemerintah Belanda di era kolonial. “Kami ingin
angkatan 33 sekuat blandong baik fisik
maupun mental,” kata Hendra, kini bekerja di Kementerian Koordinator
Kemaritiman.
Menurut Hendra, yang akrab
dipanggil Inyong, nama itu lahir atas rembukan dan kesepakatan panitia. Sejak
orientasi angkatan 1, pemberian nama angkatan merupakan kewajiban dan sudah
menjadi tradisi. Panitia menyiapkan nama angkatan bagi mahasiswa baru agar
menjadi identitas mereka. “Saya ingat, kami rapat untuk memutuskan nama buat
mahasiswa yang di Ospek,” katanya.
Masalahnya, panggilan “blandong”
juga disematkan kepada angkatan 32 yang masa orientasinya menyusul setelah 33,
ketika mereka sudah penjurusan di tingkat II dan sewaktu akan mulai kuliah di
Dramaga. Karena Ospek dua angkatan ini hampir bersamaan, panitianya pun tak
jauh beda.
Tapi angkatan 32 kemudian diberi
nama “Gondewa”, untuk membedakan dengan nama angkatan 33. “Gondewa itu
kependekan dari tigo-duo narsis tapi dewasa,” kata Syamsul
Budiman, Ketua Angkatan 32. “Tidak nyambung memang,
he-he-he.”
Rina
Kristanti, Mustofa, Muhammad Labib Mubarok berkontribusi dalam laporan ini.
Sumber : http://www.forestdigest.com/detail/33/plonco-yang-keras-tapi-berkesan
Cari komunitas bola aman dan terpercaya?
ReplyDeleteDaftar disini aja upd4te8ett1n9