POTENSI HASIL HUTAN
BUKAN KAYU SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN NEGARA
Muhammad Kurnia
Nasution
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
Hutan
merupakan sumberdaya alam yang strategis sehingga harus dikelola secara
berkelanjutan agar dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat
Indonesia. Hutan Indonesia yang menempati suatu kawasan dan
perairan seluas 132,88 juta ha atau 70 persen total luas Indonesia yang terdiri dari hutan produksi seluas 75,
44 juta ha, hutan lindung seluas 30,16 juta ha dan hutan konservasi seluas 27,28 juta ha (RPJMN 2014). Hasil
survei IBSAP ( Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) pada tahun
2003 diketahui bahwa di Indonesia terdapat 515 jenis mamalia (36% endemik,
peringkat pertama dunia), 35 jenis primate (25% endemik), 511 jenis reptil, 1 531 jenis burung (sebagian jenis endemik), 270 jenis amfibi, dan
212 jenis kupu-kupu (44% endemik). Jenis tumbuh-tumbuhan di Indonesia
diperkirakan berjumlah 25 000
jenis atau lebih dari 10% dari flora dunia. Selain memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi, hutan Indonesia juga memiliki potensi ekonomi yang sangat
tinggi, mulai dari potensi hutan yang bersifat kayu, maupun potensi hutan bukan
kayu.
Sumber daya hutan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat apabila kita mampu mengolah dan memanfaatkan sumber daya tersebut
secara lestari. Namun
pemanfaatan hutan cenderung hanya menitikberatkan pada penggunaan lahan dan
kayu. Semenjak kran
ekspor kayu dibuka, Kondisi hutan Indonesia semakin hari semakin mencemaskan.
Hal ini yang menyebabkan hutan mengalami deforestasi dan degradasi akibat
eksploitasi yang berlebih sementara usaha merehabilitasi
masih belum maksimal. Luas hutan di Indonesia menunjukkan penurunan setiap
tahunnya. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2016) luas hak pengusahaan hutan
di Indonesia tahun sebesar 20.79 juta hektar dan menurun pada tahun 2015
menjadi 20.37 juta hektar. Untuk
menghindari kerusakan hutan yang berkelanjutan, pemerintah harus mengelola
sumberdaya alam bukan kayu potensial secara lebih bijaksana dan terarah
sehingga produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) terutama andalan setempat dapat
meningkatkan nilai ekonomis.
Hasil Hutan Bukan Kayu yang
selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik
nabati maupun hewani beserta produk turunannya dan budi daya kecuali kayu yang berasal dari hutan (P.35
/ Menhut-II/2007). Menurut Badan Pangan Dunia (FAO),
hasil hutan bukan kayu adalah hasil-hasil biologi selain kayu yang diperoleh
dari hutan. Defenisi lainnya menyebutkan segala sesuatu yang bersifat material
(bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi
dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil hutan bukan kayu pada umumnya
merupakan hasil sampingan dari sebuah pohon, misalnya getah, daun, kulit, buah
atau berupa tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu
dan lain-lain. Di Indonesia sampai saat ini budidaya tanaman HHBK belum
banyak dilaksanakan, sebagian besar produk HHBK masih diambil dari dalam hutan
sehingga produksi HHBK yang berkesinambungan tidak lagi terjamin. Akibatnya
sumberdaya HHBK menjadi hancur bahkan beberapa jenis masuk kategori langka,
seperti gaharu, damar rasak, jelutung, kapur barus, jermang, ketiau, balau dan
lain-lain sudah masuk ke dalam daftar Appendix II CITES (Sumadiwangsa dan
Mas’ud, 1999).
Produk HHBK telah menjadi pemasukan sekaligus pendapatan langsung
bagi pemenuhan kebutuhan banyak rumah tangga dan masyarakat di seluruh dunia. Di banyak
negara, total nilai ekonomi dari HHBK diperkirakan
mampu memberi sumbangan terhadap pemasukan negara yang sama besar, bahkan
mungkin lebih,
daripada yang dapat diperoleh dari kayu bulat. Di Indonesia sendiri, nilai
ekonomi HHBK diperkirakan mencapai 90 % dari total nilai ekonomi yang dapat
dihasilkan dari ekosistem hutan (Lampiran Permenhut No.
P.21/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Kriteria Penetapan HHBK Unggulan). Selama
ini HHBK nampaknya masih dipandang sebelah mata dan hanya dianggap sebagai
hasil hutan ikutan. Hal ini tidak lepas dari besarnya variasi jenis HHBK,
sehingga tidak ada penanganan yang fokus dan terarah
sebagaimana pada produk kayu bulat. Akibatnya, kebanyakan HHBK tidak terkelola
secara memadai agar memiliki nilai ekonomi dan nilai tambah yang tinggi. Rendahnya
kinerja pengelolaan HHBK merupakan akibat dari
rendahnya perhatian pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam
mengembangkan HHBK (Wiratno 2014).
HHBK memiliki nilai yang sangat strategis dan memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan
langsung dengan masyarakat di sekitar hutan. Kontribusi HHBK (rotan, damar,
arang, getah-getahan, gaharu, dll) pada tahun 1999 tercatat sebesar US $ 8,4 juta,
kemudian meningkat menjadi US $ 19,74 juta pada tahun 2002. Jumlah tersebut
belum termasuk kontribusi dari hasil perdagangan flora dan fauna yang tidak
dilindungi (PP No. 8/1999) sebesar US $ 61,3 ribu (1999) kemudian meningkat
menjadi US $ 3,34 juta pada tahun 2003. Hasil ini terus meningkat sejalan
dengan permintaan pasar yang terus meningkat secara signifikan (Moko 2008). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun
2006, kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional sebesar 0.90 persen (Rp16.69 miliar), dan sebesar 0.67 persen (Rp17.42 miliar) pada tahun 2012 (BPS 2012).
Berdasarkan penelitian Andayani
(2014) beberapa produk HHBK menghasilkan nilai ekonomi sebagai berikut : (1)
minyak kayu putih per liter, Rp. 95.500 ,-(tahun 2012), dan sebesar, Rp.211.000/liter (tahun 2013) yang
kesemuanya dijual melalui sistem lelang, (2) Getah pinus (tahun 2010), di beberapa tempat pengumpulan
getah/TPG, wilayah KPH sebagai berikut : (a) KPH Banyumas Barat, Rp.5.975,-/kg, (b) KPH Jember, Rp.6.665,-/kg,
(c) KPH Lawu DS, Rp.5.615/kg, (d) KPH Sukabumi, Rp.7.670/kg, dan (e) KPH Sumedang, Rp.6.660/kg, (3)
Damar mata kucing (Lampung, tahun
2013), Rp.20.000-Rp.22.000/kg melalui cara lelang, (4) Damar mata kucing (KPH – (L Lorena Malili Sulawesi
Selatan tahun 2014, dalam proses analisis), dan (5) Umbi porang di KPH Saradan
(tahun 2011) :
umbi porang basah, Rp. 3000/kg, dan umbi berupa chip,
Rp.20.000/kg (rendemen 17%), melalui pedagang pengumpul di sekitar hutan yang dikelola dengan program PHBM.
Andayani (2014) mengatakan
bahwa nilai ekspor hasil industri pengolahan rotan tahun 2012, mampu memberikan devisa sebesar Rp.
243,24 miliar. Di sisi lain, Perum Perhutani yang saat ini mengelola hutan pinus seluas 876.992,66 ha
(36% dari total lahan yang dikelola) diharapkan dapat memberikan kontribusi ekonomi pengelolaan HHBK
kepada pemerintah secara maksimal melalui kewajibannya yaitu menyetor PSDH (sebagai nilai intrinsik
yang saat ini besarnya ditetapkan 6% per unit volume) sebagai realisasi nilai Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP).
Berdasarkan data Dirjen PHPL
Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2015), produksi HHBK Secara nasional
sebesar 251 025.62 ton yang berasal dari kelompok minyak, resin getah, kulit,
dan kelompok lainnya. Provinsi riau menjadi provinsi dengan produksi HHBK
terbanyak sebesar 23 357.05. Produksi
HHBK Propinsi NTB pada periode tahun 2008 - 2010 yang berasal dari dalam
kawasan hutan
mencapai nilai sebesar 127.000 ton untuk komoditi
Kemiri, 273 liter untuk komoditi Lebah Madu, 70.800 ton untuk komoditi Rotan, dan 313.150 batang untuk komoditi Bambu
(Dinas Kehutanan NTB
2011).
HHBK tidak terbatas hanya madu,rotan, damar dan gaharu saja, akan
tetapi juga termasuk hasil-hasil produksi turunannya termasuk juga jasa lingkungan (Sumadiwangsa
1998). Sejalan dengan perkembangan IPTEK maka beberapa jenis
pohon HHBK manfaatnya tidak sebatas hanya satu fungsi saja namun multifungsi,
seperti fungsi sebagai bioenergi (bioethanol, biofuel, biogas) meliputi: mimba
(Azadirachta indica), saga hutan (Adenanthera pavonina), mangapari (Pongemia
pinnata), nyamplung/bintangur (Calophyllum sp.), kesambi (Scheleira oleosa),
gatep pait (Samadera indica), jarak pagar (Jatropha curcas), kelor (Moreinga
oleifera), kacang hiris (Cajanus cajan), sukun (Artocarpus altilis), aren
(Arenga pinnata), sagu (Metroxylon sp.) dan aneka alga mikro (Moko 2008). Pemanfaatan dan
pengelolaan HHBK mempunyai prospek yang sangat baik dan strategis sebagai
sumber pendapatan masyarakat sekitar hutan, pemerataan daerah dan salah satu
sumber pendapatan negara yang cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani W. 2014. Strategi
Penetapan Harga Dan Pengembangan Pemasaran Hasil Hutan
Bukan Kayu (Hhbk) Dalam Rangka Meningkatan Pendapatan Sektor Kehutanan. Yogyakarta (ID) : Prosiding Seminar
Nasional Hasil Hutan Bukan Kayu.
[BPS] Badan
Pusat Statistik. 2016. Data Luas Hak Pengusahaan Hutan di Indonesia. Jakarta
(ID) : Badan Pusat Statistik
Kementrian
Kehutanan. 2007. Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor 35 Tahun 2007 Tentang Hasil
Hutan Bukan Kayu. Jakarta (ID) : Kementrian Kehutanan.
Moko H. 2008. Menggalakan Hasil Hutan Bukan Kayu Sebagai Produk
Unggulan. Jakarta (ID) : Informasi teknis 6(2). Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan.
Sumadiwangsa,
S. 1998. Karakteristik Hasil Hutan Bukan Kayu. Duta Rimba 212 (23): 44-48.
Wiratno. 2014. Strategi Dan
Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Rangka Kelola Kawasan Untuk
Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta (ID) : Prosiding Seminar Nasional Hasil Hutan
Bukan Kayu.
Dukung tim bola kesayangan Anda dengan pasaran bola terbaik di upd4te8ett1n9
ReplyDelete